Alasan Pebisnis Lebih Suka Bagi Hasil Bank Syariah
Jauh sebelum diciptakannya sistem perbankan, ternyata dunia perekonomian di zaman Rasulullah SAW sudah menerapkan fungsi utama perbankan modern. Di antaranya adalah menerima simpanan uang (deposito), menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana.
Kegiatan bermuamalah, seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan bisnis, serta melakukan pengiriman uang yang dilakukan dengan akad-akad sesuai syariah, melekat pada kehidupan perekonomian di kala itu.
Rasulullah SAW sendiri dikenal dengan julukan Al-Amin, yakni dapat dipercaya. Masyarakat Mekah sangat memercayai Rasulullah SAW untuk menyimpan harta mereka. Hingga, pada saat Rasulullah SAW hendak hijrah ke Madinah, Ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan semua barang titipan itu kepada pemiliknya.
Namun seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al-Awwam r.a memilih untuk tidak menerima pengembalian harta titipannya itu. Zubair ingin menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tentu saja hal ini membuat implikasi yang berbeda, pertama dengan mengambil harta itu sebagai pinjaman maka Ia memiliki hak untuk memanfaatkannya. Kedua, karena bentuknya pinjaman, Ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh.
Dalam riwayat lain ditulis, Ibnu Abbas r.a juga pernah melakukan pengiriman barang dari Kuffah dan Abdullah bin Zubari r.a mengirim sejumlah uang dari Mekkah ke Irak untuk adiknya Mis’ab bin Zubair r.a. Penggunaan cek dalam bertransaksi bisnis pun pernah dilakukan pedagang pada zaman Rasulullah. Di samping itu, pemberian modal untuk kerja dengan prinsip bagi hasil pun sudah diterapkan seperti mudharabah, muzara’ah, musaqah.
Sejarah bank syariah di Indonesia
Bagaimana dengan perkembangan perbankan di negara dengan jumlah populasi muslim terbesar sedunia, Indonesia? Kehadiran bank syariah di Indonesia sudah didambakan masyarakat jauh sebelum negara ini merdeka.
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937–1944 pernah menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia terpaksa menggunakan jasa bank konvensional karena belum dibentuknya lembaga keuangan yang bebas riba.
Dikutip dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Bank Indonesia memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga dengan tujuan agar terciptanya kondisi perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian negara.
Di tahun yang sama pula pemerintah Indonesia sudah berencana menerapkan “sistem bagi hasil” di dalam sistem perkreditan yang mana sekaligus menjadi cikal bakal konsep perbankan syariah.
Lima tahun kemudian pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pebisnis perbankan untuk menunjang pembangunan (liberalisasi sistem perbankan).
Banyak sekali bank konvensional yang berdiri pada saat itu. Meskipun begitu, ditemukan pula usaha-usaha perbankan berasaskan syariah yang bersifat kedaerahan.
Hingga tahun 1990, MUI membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada 1991, lahirlah perbankan syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat.
Konsep operasional bank syariah
Definisi umum bank syariah sendiri adalah perbankan yang menggunakan sistem keislaman, di mana dalam pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam atau syariat yang berlaku. Konsep operasional yang diterapkan bank syariah sebagai berikut.
- Penghimpun dana. Penghimpun dana di bank syariah bisa berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasionalnya pun menggunakan prinsip wadi’ah dan Mudharabah.
- Penyaluran dana. Dalam proses menyalurkan dana kepada nasabah, produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan tujuan penggunaannya: (i) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli (ba’i); (ii) Pembiayaan dengan prinsip sewa (jarah); (iii) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (syirkah atau nisbah); (iv) dan Pembiayaan dengan akad lengkap.
- Produk jasa perbankan lainnya.
Hukum Islam tidak mengenal bunga pinjaman seperti yang diterapkan bank konvensional. Mengapa demikian? Bunga pinjaman dianggap sebagai riba, dan umat Islam akan berdosa jika melakukan sistem riba dalam membangun dunia perekonomiannya. Bagaimana cara bank syariah mengoperasionalkan bisnisnya?
Dalam istilah fiqh, syirkah berarti persekutuan atau perkongsian antar dua orang atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Al-Imam asy-Syaukani berkata dalam al-Sailul Jarrar (III/246, III/248), “syirkah yang syar’i terjadi dengan adanya saling rido antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap orang dari mereka membayar jumlah yang jelas dari hartanya,kemudian mereka mencari usaha dan keuntungan dengan harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada kewajiban pembiayaan sebesar itu pula yang dikeluarkan dari harta syirkah.
Penerapan bagi hasil bank syariah
Menurut Kompilasi Hukum Syariah (KHESS) Pasal 20 (3) adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah (bagi hasil) yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.
Sebagai pengingat, perbankan syariah tidak menerapkan sistem bunga dalam aktivitas perbankannya sebab bunga dianggap riba dan hukumnya haram dalam agama Islam. Untuk itu, bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil atau nisbah yang sah menurut agama Islam.
Mekanisme penghitungan bagi hasil menurut ekonomi islam idealnya ada dua macam:
- Profit sharing atau bagi hasil, di mana total pendapatan usaha dikurangi biaya operasional untuk mendapatkan profit alias keuntungan bersih.
- Revenue sharing, yaitu laba berdasarkan total pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya operasional alias pendapatan kotornya.
Sistem bagi hasil bank syariah diterapkan dengan cara profit sharing, yakni membagi keuntungan bersih dari usaha atau investasi yang sudah dijalankan. Lalu bagaimana dengan besaran keuntungannya?
Besaran keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak sudah diputuskan saat akad ditandatangani. Hal tersebut demi menghindari kebingungan dan pertengkaran dalam berbisnis, dalam arti mengelola usaha yang mau dijalankan atau sudah dijalankan.
Sistem bagi hasil bank syariah dilihat dari akadnya
Sistem bagi hasil bank syariah disesuaikan dengan jenis akadnya. Dalam hal ini ada tiga akad usaha yang diterapkan oleh instansi perbankan syariah Indonesia, yaitu:
- Akad Mudharabah
- Akad Musyarakah
- Akad Murabahah
Berikut penjelasannya secara lebih mendetail.
1. Akad Mudharabah
Mudharabah merupakan bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal dan pengelola membuat suatu perjanjian pembagian keuntungan bisnis. Ketentuan umum skema pembiayaan mudharabah sebagai berikut.
- Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai dan dapat berupa uang. Jika modal diserahkan secara bertahap, maka tahapannya harus jelas dan disepakati bersama.
- Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.
Bank berhak melakukan pengawasan terhadap kinerja pihak pengelola usaha, tetapi tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah. Akad ini biasanya dilakukan dalam bentuk deposito syariah. Di mana bank akan menggunakan dana deposito tersebut untuk investasi atau usaha.
2. Akad Musyarakah
Transaksi musyarakah dilandasi dengan adanya keinginan para pihak terkait untuk bekerja sama dalam meningkatkan nilai aset yang dimiliki secara bersama-sama. Baik bank maupun pihak yang terlibat lainnya sama-sama mengeluarkan modal dengan nominal yang sama serta menanggung risiko dan keuntungan secara merata juga.
Secara spesifik, bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana tunai, barang perdagangan (trading asset), kewirausahaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), harta kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill).
Dalam cara kerja bank konvensional, akad musyarakah ini termasuk dalam kredit modal kerja, di mana perbankan syariah akan memberikan kredit. Hanya saja bedanya, bank konvensional akan menetapkan jumlah tertentu untuk dijadikan sebagai suku bunga kredit, sedangkan bank syariah mendapat pembagian keuntungan sesuai yang sudah disepakati dalam akad.
Perbedaan lainnya, bank konvensional tidak akan rugi karena pinjaman harus dikembalikan nasabah beserta dengan bunganya. Sementara bank syariah masih memiliki kemungkinan rugi jika kerja sama usaha tersebut gagal di tengah jalan.
3. Akad Murabahah
Akad murabahah adalah perjanjian yang didasarkan kepada aktivitas jual beli barang dengan tambahan keuntungan untuk bank syariah, namun tetap sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Misalnya, bank membeli tanah dengan harga Rp200 juta dan akan menjualnya kembali dengan harga Rp250 juta kepada pembelinya. Baik bank maupun pembeli sama-sama menyetujui adanya profit margin yang didapat bank sebesar Rp50 juta. Piihak pembeli akan mencicil seharga Rp250 juta kepada bank dengan jumlah cicilan tetap hingga tenor pinjaman habis.
Akad ini sering diterapkan pada perjanjian penggunaan produk KPR Syariah, properti, tanah, kendaraan bermotor, tempat usaha, dan lain-lain.
Apa perbedaan bunga bank konvensional dan bagi hasil bank syariah?
Bank konvensional biasa menjalankan perputaran bisnis perbankan berkat suku bunga pinjaman yang diberikan kepada nasabah. Hal ini tentu berbeda dengan penerapan sistem bagi bank syariah. Bagaimana perbedaannya? Kita bisa lihat di tabel berikut.
Faktor Pembeda
Rasio profitabilitas
Profit
Pembagian profit
Risiko Bisnis
Bunga di Bank Konvensional
Penentuan tingkat suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung.
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah akan untung atau rugi.
Bagi Hasil di Bank Syariah
Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah.
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan, maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem bagi hasil bank syariah mengedepankan pembagian risiko dan keuntungan secara fleksibel dengan memandang risiko bisnis yang dihadapi dan total keuntungan yang diraih.
Bagi nasabah yang akhirnya memilih menabung atau berinvestasi di bank syariah melihat sistem ini lebih adil.
Satu contoh pada kasus KPR syariah yang gagal untuk dilunasi, pihak bank syariah tidak menyita rumah bersangkutan. Melainkan menjualnya, kemudian tetap memberikan sebagian keuntungan kepada nasabahnya. Namun di mata bank konvensional, rumah tersebut akan disita sepenuhnya.